Sudah hampir pagi, api unggun yang ada ditengah-tengah tempat kami berkemah pun sudah mulai padam, menyisakan arang dan beberapa bara yang masih tampak merah menyala. Tenda lain masih keliatan tenang tanpa suara. Hanya ada satu tenda yang paling ramai, tenda berwarna biru gelap yang ada disebelah kiri tenda tempat aku tidur. Sebenarnya para penghuni tenda biru itu tidak sedang berpesta atau melakukan kegiatan lain yang membuat banyak suara melainkan mereka sedang tidur dengan pulasnya, hanya saja mereka yang tidur di tenda tersebut adalah anggota dari “Orkes Mimpi”, sebuah sebutan yang kami berikan kepada mereka yang dengan dedikasi telah membuat setiap orang tidak bisa tidur karena dengkuran mereka.
“Tumben, biasanya lu yang paling gak bisa diganggu kalau tidur, sekarang malah mata lu yang paling terang”, kata Joni, yang entah kapan datangnya yang langsung tiba-tiba duduk disebelahku. “Enggak, tadi aku udah tidur, cuma tadi kebangun terus dengar biduan kita lagi pada nyanyi”, kataku sambil menunjuk kearah tenda berwarna biru gelap tadi. “Untung kita satuin mereka di satu tempat, kalau enggak bisa nggak tidur kita satu malam ini”, kata Joni sambil mengeluarkan sebungkus rokok dari sakunya. Joni memandangi bungkusan rokok yang ada ditangannya, lalu memandang ke langit. Kami terdiam selama beberapa menit, rasanya saat itu sangat tenang ketika kami sama-sama memandang langit malam yang kebetulan sedang cerah.
“Kadang gue pikir lebih baik gue gak tau, dari pada tau tapi gak malah mati gara-gara tau”, kata Joni membuka pembicaraan kembali. “Maksudmu Jon?” kataku sambil iseng melempar batu kecil kearah api unggun yang sudah mulai padam. Joni kembali memandang bungkusan rokok yang dipegangnya sedari tadi, “Udah lama gue mau berenti ngerokok, tapi susah, dan gue pikir harusnya dulu waktu gue pertama kali ditawarin rokok gue tolak aja bukannya gue terima”. Kami kembali terdiam. Aku mengeluarkan sebuah buku catatan kecil dan pulpen dari saku jaketku. “Jon, coba dulu kau bikin titik-titik yang gak beraturan disatu lembar kertas ini, bikin yang banyak” kataku sambil menyodorkan pulpen dan buku tadi. Awalnya joni bingung sambil mengernyitkan dahinya, namun diambil juga buku itu dan mulai ia menitiki lembaran kertas dibuku itu. “Sudah? Coba sini kulihat”, kataku sambil melihat buku yang sudah dipenuhi titik-titk yang dibuat Joni tadi. Aku muali menyambungkan titik-titik yang dibuat Joni sebelumnya menjadi beberapa gambar.
“Apaan nih? Nggak jelas begitu gambar lu”, Kata Joni agak heran ketika melihat gambar yang kubuat. “Coba kau liat ini, menurutmu gambar disini mirip apa?” kataku sambil menghadapkan buku tadi kearah Joni. “Ini kaya ikan, kalau ini kaya mata, yang ini gue gak tau”, katanya sambil menunjuk-nunjuk gambar yang kubuat. “Kau tau? Titik-titik ini masa lalumu, sejarahmu”, kataku. “Lah maksud lu apaan dah?”, kata joni bingung.Aku memperbaiki posisi dudukku dan mulai menjelaskan maksud dari gambar yang kubuat tadi, “Begini, anggap titik-titik ini adalah kejadian yang udah lewat dan kertas ini adalah hidupmu, sebelum ada gambar yang kau bilang nggak jelas yang kubikin tadi kau gak bisa liat apa-apa dari kertas atau hidupmu itu kan? cuma ada titik-titik gak beraturan di atas kertas ini, trus sekarang menyesalah kau karena kau cuma bikin titik-titik aja dihidupmu padahal harusnya kertas itu bisa kau gambar yang indah-indah, entah itu gambar pemandangan, gambar muka kau sendiri, atau mungkin gambar muka si doi yang kau idam-idamkan sampai sekarang ini, tapi coba kau ubah sedikit cara pandangmu sendiri soal hidupmu itu, dari pada kau cuma menyesal terus gak menghasilkan apa-apa coba kau putar otak kau sedikit, dengan kreatifitasmu kau bisa sambungkan titik-titik yang udah kau bikin tadi jadi sebuah gambar, macam yang kulakukan tadi, memang kau gak bisa mengharapkan gambar yang bagus muncul dari titik-titik tadi, tapi paling enggak kau bisa mengubah titik-titik gak beraturan tadi jadi sebuah gambar yang minimlanya bisa dimengerti orang, dan pada akhirnya hidupmu gak cuma dipenuhi oleh titik-titik yang gak jelas tadi”. Joni hanya memandangku ketika aku selesai berbiacara. Aku mengeluaran handphone dari saku celana ku, dan memberikannya kepada Joni. “Coba kau lihat, bagus kan lukisannya?”, kataku. “iya bagus” kata Joni sambil mengangguk. “Coba kau perbesar lukisan tadi, apa yang kau liat?”, kataku. Joni mulai memperbesar gambar dihandphone ku dan terlihat agak kaget “loh, ini kok banyak titik-titik? Jadi ini gambar cuma dibikin dari titik-titik?”, kata Joni heran. “Itu namanya lukisan pointilis, yang kau liat itu buatanya Georges Seurat” kataku sambil mengambil handphone ku dari tangan Joni. “Bahkan dari titik-titik pun bisa jadi lukisan yang indah, kau juga bisa, tinggal kau putar sedikit otak mu itu”, kataku sambil menunjuk-nunjuk kearah kepala Joni.
Joni menatap kembali bungkusan rokoknya, tiba-tiba ia melemparkan bungkusan rokok itu tengah api unggun. Perlahan bungkusan rokok itu dibakar oleh bara-bara api yang tersisa. Aku berdiri mengambil beberapa kayu bakar yang tersisa dan mulai menambahkannnya ketengah api unggun, menutupi bungkusan rokok Joni yang sudah terbakar sambil berkata “Mulai dingin kayaknya Jon”. Joni hanya tersenyum kecil ketika aku melakukan hal itu.
“Tumben, biasanya lu yang paling gak bisa diganggu kalau tidur, sekarang malah mata lu yang paling terang”, kata Joni, yang entah kapan datangnya yang langsung tiba-tiba duduk disebelahku. “Enggak, tadi aku udah tidur, cuma tadi kebangun terus dengar biduan kita lagi pada nyanyi”, kataku sambil menunjuk kearah tenda berwarna biru gelap tadi. “Untung kita satuin mereka di satu tempat, kalau enggak bisa nggak tidur kita satu malam ini”, kata Joni sambil mengeluarkan sebungkus rokok dari sakunya. Joni memandangi bungkusan rokok yang ada ditangannya, lalu memandang ke langit. Kami terdiam selama beberapa menit, rasanya saat itu sangat tenang ketika kami sama-sama memandang langit malam yang kebetulan sedang cerah.
“Kadang gue pikir lebih baik gue gak tau, dari pada tau tapi gak malah mati gara-gara tau”, kata Joni membuka pembicaraan kembali. “Maksudmu Jon?” kataku sambil iseng melempar batu kecil kearah api unggun yang sudah mulai padam. Joni kembali memandang bungkusan rokok yang dipegangnya sedari tadi, “Udah lama gue mau berenti ngerokok, tapi susah, dan gue pikir harusnya dulu waktu gue pertama kali ditawarin rokok gue tolak aja bukannya gue terima”. Kami kembali terdiam. Aku mengeluarkan sebuah buku catatan kecil dan pulpen dari saku jaketku. “Jon, coba dulu kau bikin titik-titik yang gak beraturan disatu lembar kertas ini, bikin yang banyak” kataku sambil menyodorkan pulpen dan buku tadi. Awalnya joni bingung sambil mengernyitkan dahinya, namun diambil juga buku itu dan mulai ia menitiki lembaran kertas dibuku itu. “Sudah? Coba sini kulihat”, kataku sambil melihat buku yang sudah dipenuhi titik-titk yang dibuat Joni tadi. Aku muali menyambungkan titik-titik yang dibuat Joni sebelumnya menjadi beberapa gambar.
“Apaan nih? Nggak jelas begitu gambar lu”, Kata Joni agak heran ketika melihat gambar yang kubuat. “Coba kau liat ini, menurutmu gambar disini mirip apa?” kataku sambil menghadapkan buku tadi kearah Joni. “Ini kaya ikan, kalau ini kaya mata, yang ini gue gak tau”, katanya sambil menunjuk-nunjuk gambar yang kubuat. “Kau tau? Titik-titik ini masa lalumu, sejarahmu”, kataku. “Lah maksud lu apaan dah?”, kata joni bingung.Aku memperbaiki posisi dudukku dan mulai menjelaskan maksud dari gambar yang kubuat tadi, “Begini, anggap titik-titik ini adalah kejadian yang udah lewat dan kertas ini adalah hidupmu, sebelum ada gambar yang kau bilang nggak jelas yang kubikin tadi kau gak bisa liat apa-apa dari kertas atau hidupmu itu kan? cuma ada titik-titik gak beraturan di atas kertas ini, trus sekarang menyesalah kau karena kau cuma bikin titik-titik aja dihidupmu padahal harusnya kertas itu bisa kau gambar yang indah-indah, entah itu gambar pemandangan, gambar muka kau sendiri, atau mungkin gambar muka si doi yang kau idam-idamkan sampai sekarang ini, tapi coba kau ubah sedikit cara pandangmu sendiri soal hidupmu itu, dari pada kau cuma menyesal terus gak menghasilkan apa-apa coba kau putar otak kau sedikit, dengan kreatifitasmu kau bisa sambungkan titik-titik yang udah kau bikin tadi jadi sebuah gambar, macam yang kulakukan tadi, memang kau gak bisa mengharapkan gambar yang bagus muncul dari titik-titik tadi, tapi paling enggak kau bisa mengubah titik-titik gak beraturan tadi jadi sebuah gambar yang minimlanya bisa dimengerti orang, dan pada akhirnya hidupmu gak cuma dipenuhi oleh titik-titik yang gak jelas tadi”. Joni hanya memandangku ketika aku selesai berbiacara. Aku mengeluaran handphone dari saku celana ku, dan memberikannya kepada Joni. “Coba kau lihat, bagus kan lukisannya?”, kataku. “iya bagus” kata Joni sambil mengangguk. “Coba kau perbesar lukisan tadi, apa yang kau liat?”, kataku. Joni mulai memperbesar gambar dihandphone ku dan terlihat agak kaget “loh, ini kok banyak titik-titik? Jadi ini gambar cuma dibikin dari titik-titik?”, kata Joni heran. “Itu namanya lukisan pointilis, yang kau liat itu buatanya Georges Seurat” kataku sambil mengambil handphone ku dari tangan Joni. “Bahkan dari titik-titik pun bisa jadi lukisan yang indah, kau juga bisa, tinggal kau putar sedikit otak mu itu”, kataku sambil menunjuk-nunjuk kearah kepala Joni.
Joni menatap kembali bungkusan rokoknya, tiba-tiba ia melemparkan bungkusan rokok itu tengah api unggun. Perlahan bungkusan rokok itu dibakar oleh bara-bara api yang tersisa. Aku berdiri mengambil beberapa kayu bakar yang tersisa dan mulai menambahkannnya ketengah api unggun, menutupi bungkusan rokok Joni yang sudah terbakar sambil berkata “Mulai dingin kayaknya Jon”. Joni hanya tersenyum kecil ketika aku melakukan hal itu.
0 komentar:
Posting Komentar